Stroke bisa dikatakan sebagai salah satu momok bagi banyak orang, disamping penyakit jantung maupun diabetes. Tapi sayangnya tak banyak yang tahu bagaimana caranya mencegah penyakit ini datang. Padahal menurut sebuah studi baru dari AS, risiko stroke sudah bisa dicegah sejak kecil. Kok bisa?
Dalam studi ini, peneliti mengamati 25.500 orang yang pernah tinggal di wilayah stroke belt di AS. Stroke belt adalah istilah yang ditujukan bagi sejumlah negara bagian di tenggara AS yang memiliki tingkat insidensi stroke tinggi.
Dalam studi ini, peneliti mengamati 25.500 orang yang pernah tinggal di wilayah stroke belt di AS. Stroke belt adalah istilah yang ditujukan bagi sejumlah negara bagian di tenggara AS yang memiliki tingkat insidensi stroke tinggi.
Setelah melakukan pengamatan selama enam tahun, dilaporkan terdapat 615 partisipan yang terkena stroke. Disamping itu, peneliti juga menyimpulkan orang yang tinggal di wilayah stroke belt pada usia berapapun cenderung memiliki risiko stroke yang tinggi. "Bahkan orang yang tinggal di wilayah stroke belt sejak kecil tampaknya berpotensi lebih besar untuk terkena risiko stroke," tandas Howard.
Orang yang tinggal di wilayah stroke belt sejak lahir hingga menginjak usia 12 tahun atau ketika berusia antara 13-18 tahun berisiko 22 persen lebih tinggi untuk terserang stroke dibandingkan orang-orang yang menghabiskan masa kecilnya di wilayah lain. Temuan ini tetap konsisten meski peneliti telah memperhitungkan faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi risiko stroke seseorang seperti usia, ras dan jenis kelamin.
Bahkan orang yang tumbuh besar di luar wilayah stroke belt tapi pindah ke wilayah ini ketika dewasa juga diketahui berisiko tinggi terkena stroke daripada orang yang tinggal di wilayah lain, meski risikonya tidak setinggi orang yang tinggal di wilayah stroke belt sejak kecil kemudian pindah ke negara bagian lain ketika dewasa.
Lebih dari itu, ketika peneliti mempertimbangkan faktor lain yang diduga mempengaruhi risiko stroke seperti diabetes dan kebiasaan merokok, mereka juga menemukan risiko strokenya tampak tinggi hanya pada orang-orang yang tinggal di wilayah stoke belt ketika remaja.
"Temuan ini menunjukkan bahwa jika kita bermaksud mencegah stroke pada orang dewasa, tak seharusnya kita menunggu sampai faktor-faktor risikonya seperti hipertensi dan diabetes muncul karena itu akan sangat terlambat. Kita perlu memulainya sejak kecil," ungkap peneliti Virginia Howard, seorang pakar epidemiologi stroke dari Birmingham School of Public Health, University of Alabama, AS.
"Namun kami tak tahu pasti mengapa orang-orang yang tinggal di wilayah stroke belt selama tahun-tahun pertama kehidupannya lebih berisiko terserang stroke. Kami menduga hal ini karena masa kecil dan masa remaja adalah masa-masa dimana berbagai kebiasaan yang dimiliki seseorang mulai terbentuk," terang Howard seperti dilansir Foxnews, Minggu (28/4/2013).
"Pada periode ini pola makan Anda pertama kali terbentuk, pertama kali Anda memutuskan untuk merokok atau tidak, pertama kali Anda memutuskan untuk aktif berolahraga atau tidak. Padahal keputusan-keputusan itu akan membentuk jalannya sistem tubuh yang pada akhirnya nanti akan meningkatkan risiko stroke ketika beranjak dewasa," lanjutnya.
Namun Howard menekankan meski studi ini menggunakan pembatasan geografis tertentu seperti pada wilayah stroke belt, sebenarnya temuan ini dapat diaplikasikan pada gaya hidup setiap orang dimanapun mereka tinggal.
"Yang perlu ditekankan adalah penerapan gaya hidup sehat seperti rutin beraktivitas fisik, mengadopsi pola makan sehat dan mempertahankan berat badan sehat yang dapat mengurangi risiko pendorong munculnya faktor-faktor risiko stroke seperti hipertensi dan diabetes tersebut," tutupnya.
Studi ini telah dipublikasikan dalam jurnal Neurology.
Orang yang tinggal di wilayah stroke belt sejak lahir hingga menginjak usia 12 tahun atau ketika berusia antara 13-18 tahun berisiko 22 persen lebih tinggi untuk terserang stroke dibandingkan orang-orang yang menghabiskan masa kecilnya di wilayah lain. Temuan ini tetap konsisten meski peneliti telah memperhitungkan faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi risiko stroke seseorang seperti usia, ras dan jenis kelamin.
Bahkan orang yang tumbuh besar di luar wilayah stroke belt tapi pindah ke wilayah ini ketika dewasa juga diketahui berisiko tinggi terkena stroke daripada orang yang tinggal di wilayah lain, meski risikonya tidak setinggi orang yang tinggal di wilayah stroke belt sejak kecil kemudian pindah ke negara bagian lain ketika dewasa.
Lebih dari itu, ketika peneliti mempertimbangkan faktor lain yang diduga mempengaruhi risiko stroke seperti diabetes dan kebiasaan merokok, mereka juga menemukan risiko strokenya tampak tinggi hanya pada orang-orang yang tinggal di wilayah stoke belt ketika remaja.
"Temuan ini menunjukkan bahwa jika kita bermaksud mencegah stroke pada orang dewasa, tak seharusnya kita menunggu sampai faktor-faktor risikonya seperti hipertensi dan diabetes muncul karena itu akan sangat terlambat. Kita perlu memulainya sejak kecil," ungkap peneliti Virginia Howard, seorang pakar epidemiologi stroke dari Birmingham School of Public Health, University of Alabama, AS.
"Namun kami tak tahu pasti mengapa orang-orang yang tinggal di wilayah stroke belt selama tahun-tahun pertama kehidupannya lebih berisiko terserang stroke. Kami menduga hal ini karena masa kecil dan masa remaja adalah masa-masa dimana berbagai kebiasaan yang dimiliki seseorang mulai terbentuk," terang Howard seperti dilansir Foxnews, Minggu (28/4/2013).
"Pada periode ini pola makan Anda pertama kali terbentuk, pertama kali Anda memutuskan untuk merokok atau tidak, pertama kali Anda memutuskan untuk aktif berolahraga atau tidak. Padahal keputusan-keputusan itu akan membentuk jalannya sistem tubuh yang pada akhirnya nanti akan meningkatkan risiko stroke ketika beranjak dewasa," lanjutnya.
Namun Howard menekankan meski studi ini menggunakan pembatasan geografis tertentu seperti pada wilayah stroke belt, sebenarnya temuan ini dapat diaplikasikan pada gaya hidup setiap orang dimanapun mereka tinggal.
"Yang perlu ditekankan adalah penerapan gaya hidup sehat seperti rutin beraktivitas fisik, mengadopsi pola makan sehat dan mempertahankan berat badan sehat yang dapat mengurangi risiko pendorong munculnya faktor-faktor risiko stroke seperti hipertensi dan diabetes tersebut," tutupnya.
Studi ini telah dipublikasikan dalam jurnal Neurology.